IMPLEMENTASI PENDIDIKAN PRANIKAH
DALAM MEMUWJUDKAN KELUARGA SAMAWA
OLEH:
NOPIYANTI
Mahsiswa Universitas Sultan Ageng Tiirtayas
Pernikahan
merupakan bibit pertama dan cikal bakal kehidupan masyarakat, dan aturan yang
bersifat alami bagi alam semesta serta sunnatullah untuk menjadikan kehidupan
semakin bernilai dan mulia. Ketika Islam menganjurkan kepada laki-laki dan
wanita agar memilih jodoh yang baik semata-mata untuk mendapatkan keturunan
yang baik dan mulia yang mampu menjadikan pemimpin agama dan umat di masa yang
akan datang dan anak shalih yang kita harapkan bersama. (Rasjid, Sulaiman, 2006) [1]
Menikah adalah
sunatullah yang harus
dilaksanakan, sebagaimana perintah
dalam Islam, serta
merupakan satu pilar
dari beberapa pilar
agama sebagaimana shalat,
puasa dan zakat.
Ini adalah perintah
dari Allah azza
wa jalla yang
mewajibkan seorang muslim
untuk menikah, Allah
sengaja menumbuhkan rasa kasih
dan sayang ke dalam hati masing-masing pasangan, agar terjadi
keharmonisan dan ketenteraman
dalam membina suatu
rumah tangga
Sedikitnya ada
empat macam yang
menjadi tujuan perkawinan.
Keempat tujuan perkawinan
itu hendaknya benar-benar
dapat di pahami
oleh calon suami
istri, supaya terhindar
dari keretakan dalam
rumah tangga yang
biasanya berakhir dengan perceraian yang sangat di benci oleh allah.
Diantara tujuan perkawinan tersebut
adalah sebagai berikut
: Menentramkan Jiwa,
Mewujudkan (melestarikan) keturunan,
Memenuhi Kebutuhan Biologis,
dan Latihan memikul tanggung
jawab.
Dengan demikian
bimbingan pra nikah
bagi calon pengantin
haruslah dilakukan sedemikian
rupa, sehingga bimbingan
pra nikah dapat
menunjang tercapainya tujuan dari
pelaksanaan bimbingan tersebut. yakni kesadaran akan tanggung jawab
dan kewajiban suami
istri dalam rumah
tangga, sehingga dapat membentuk keluarga yang sakinah,
mawadah, wa rahmah, akan tetapi masih banyak sebagian orang yang tidak
menginplemetasikan ilmu atau pelajaran yang sudah mereka dapatkan dalam
pendidikan pranikah, masih banyak [2]
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pendidikan pra nikah ?
2.
Bagaimana
implementasi pendidikan pranikah?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahu
dan memahami tentang pendidikan pranikah
2. Mengetahui dan memahmi implementasi pendidikan
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pernikahan atau Perkawinan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah
memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah
berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga
bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan
manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat
jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis
kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat
mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat
bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam
hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: “Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw.
memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat,
tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka
perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)”[3]
2.2
Hukum Pernikahan
a.
Hukum
Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh
dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan
tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan
melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh
atau haram.
b.
Nikah
yang Hukumnya Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah.
Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan
hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan
hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak
semua amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya
mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah
dan berkehendak untuk nikah. [4]
c.
Nikah
yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa
diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib.
Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah
saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk
golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada
sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika
kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan
zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah
perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda
sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu,
sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan
Abu Daud)
d.
Nikah
yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan
telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai
bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e.
Nikah
yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi
haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang
dinikahinya.
Dalam sebuah
hadits Rasulullah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu menikah
hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan
berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di dalam Al-Qur’an:Maka nikahilah wanita yang engkau senangi.
(QS.An-Nisa/4:3)
“Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Q.S An-Nur/24:32) [5]
Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka
bahwa dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor
dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk
mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau
sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk
menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menimbulkan
mudharat yang lebih besar pada orang lain.
2.3
Rukun Pernikahan
Rukun Dan
Syarat Pernikahan Ada Lima
1. Mempelai laki-laki syaratnya: bukan dari mahram dari
calon istri, idak terpaksa, atas kemauan sendiri, orangnya tertentu, jelas
orangny,calon suami, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria,
tidak karena terpaksa, bukan mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram
haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
2. Mempelai perempuan syaratnya-syaratnya: tidak ada
halangan syar’I yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah,
merdeka, atas kemauan sendiri, jelas orangnya. Calon istri, syaratnya antara
lain beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi
calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 16 tahun.
3. Wali (wali si perempuan) keterangannya adalah sabda Nabi
Saw:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
“Barangsiapa diantara perempuan yang menikah dengan tanpa
izin walinya, maka pernikahannya batal” (Riwayat Empat Ahli Hadis kecuali
Nasa’I)
4. Dua orang saksi
“Tidak sah
nikah kecuali dengan wali dengan 2 saksi yang adil” (HR. Ahmad)
Syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan
melihat, bebas (tidak dipaksa), memahami bahasa yang digunakan ijab qabul.
5. Sighat (akad) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan,
Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahan dari
keduanya. Sabda Rasulullah Saw:
“Takutlah
kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil mereka dengan
kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah”
(HR. Muslim) Yang dimaksud dengan kalimat “kalimat Allah” dalam hadis ialah Al-Qur’an,
dan dalam Al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij)
maka harus dituruti agar tidak salah pendapat yang lain, asal lafadz akad
tersebut ma’qul ma’na, tidak semata-mata ta’abbudi.
2.4
Pengertian Pendidikan Pra Nikah
Kata-kata Pendidikan memiliki beberapa padanan kata. Padanan kata
pendidikan antara lain tarbiyah. Tarbiyah diartikan pendidikan bukan pengajaran
atau keguruan, karena pengertian pendidikan lebih luas dari pada sekedar
mengajar atau mendidik. Padanan kata kedua untuk pendidikan adalah ta’dib.
Istilah ta’dib berasal dari adaba, yuadabu, tadiban. Adaba artinya membudayakan
atau memperadaban (civilization). Pendidikan adalah berbagai usaha yang
dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang agar tercapai perkembangan
maksimal yang positif (Ahmad Syar’i, 2005: 67). :[6]
Sedangkan nikah adalah dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan
bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual (Achmad Kuzari, 1995: 95), :[7]
Nikah menurut bahasa : al-jam’u dan ad-dommu yang artinya kumpul.
Melihat pengertian kedua kata diatas, maka yang dimaksud dengan pendidikan
pra nikah adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau
unit social terkecil dalam masyarakat terhadap calon mempelai.
Ada beberapa macam yang menjadi tujuan nikah, hal ini dapat ditinjau dari
beberapa hal tersebut, antara lain adalah:
1.
Tujuan Fisiologis
Yaitu bahwa sebuah
keluarga harus dapat menjadi :
a. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh
yang baik dan nyaman.
b.
Tempat
semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai
c.
Tempat
suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
2.
Tujuan
Psikologis
Yaitu bahwa sebuah
keluarga harus dapat menjadi :
a.
Tempat
semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
b.
Tempat
semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman,
c.
Tempat
semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
d.
Basis
pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
3.
Tujuan
Sosiologis
Yaitu
bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a.
Lingkungan pertama dan terbaik
bagi segenap anggota keluarga
b.
Unit sosial terkecil yang
menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan
masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
4.
Tujuan Da’wah
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a.
Menjadi
obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
b.
Menjadi
prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona Islam) bagi masyarakat
muslim dan nonmuslim.
c.
Setiap
anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
d.
Memberi
antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan
keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa
hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
a.
Sarana
pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum: 21)
b.
Sarana
menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum: 21)
c.
Sarana
menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’: 1, An Nahl: 72)
Rasulullah berkata: “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak.
Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi) [8]
d.
Sarana
untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda :
“Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab
ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum
mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang
syahwat) baginya.”
2.5
Tujuan Pendidikan Pra Nikah
Melihat realita dalam kehidupan masyarakat selama ini, telah banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan pada tatanan sosial. Hal tersebut bermuara dari
peranan orang tua dalam membina keluarganya dalam menuju kehidupan
bermasyarakat.
Keluarga sakinah adalah idaman setiap manusia. Tapi tidak jarang dari
mereka menemukan jalan buntu, baik yang berkecupan secara materi maupun yang
berkekurangan. Apa sebenarnya rahasianya? Mengapa kebanyakan manusia sulit
menemukannya? Mengapa sering terjadi percekcokan dan pertengkaran di dalam
rumah tangga, yang kadang-kadang akibatnya
meruntuhkan keutuhan rumah tangga?
Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat merupakan lingkungan
budaya pertama dan utama dalam rangka menanamkan norma dan mengembangkan
berbagai kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting bagi kehidupan pribadi,
keluarga dan masyarakat (Abd. Rahman Ghazaly, 2003: 73).
Dalam buku The National Studi on Family Strength, Nick dan De Frain
mengemukakan beberapa hal tentang pegangan menuju hubungan keluarga yang sehat
dan bahagia, yaitu:
1.
Terciptanya
kehidupan beragama dalam keluarga
2.
Tersedianya
waktu untuk bersama keluarga.
3.
Interaksi
segitiga antara ayah, ibu dan anak
4.
Saling
menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak
5.
Keluarga
menjadi prioritas utama dalam setiap situasi dan kondisi (Abd. Rahman Ghazaly,
2003: 32). [9]
Seiring kriteria keluarga yang diungkapkan diatas, sujana memberikan
beberapa fungsi pada pendidikan keluarga yang terdiri dari fungsi biologis,
edukatif, religius, protektif, sosialisasi dan ekonomis.
Dari beberapa fungsi tersebut, fungsi religius dianggap fungsi paling
penting karena sangat erat kaitannya dengan edukatif, sosialisasi dan
protektif. Jika fungsi keagamaan dapat dijalankan, maka keluarga tersebut akan
memiliki kedewasaan dengan pengakuan pada suatu system dan ketentuan norma
beragama yang direalisasikan di lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
Penanaman akidah sejak dini telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 132 yang berbunyi:
ووصىبها إبراهيم
ببنيه ويعقوب‘ يا بني إنالله إصطفى لكم الدين فلا تموتن إلاوأنتم مسلمون.
Artinya: Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan kepada anak-anaknya, demikian juga Ya’kub.
Ibrahim berkata: hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam. (Q.S: 2: 132)
Secara garis besar pendidikan dalam keluarga dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu:
1.
Pembinaan
Akidah dan Akhlak
Mengingat
keluarga dalam hal ini lebih dominan adalah seorang anak dengan dasar-dasar
keimanan, ke-Islaman, sejakmulai mengerti dan dapat memahami sesuatu, maka
al-Ghazali memberikan beberapa metode dalam rangka menanamkan aqidah dan
keimanan dengan cara memberikan hafalan. Sebab kita tahu bahwa proses pemahaman
diawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi). Ketika mau
menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya sebuah
keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diayakini. Inilah proses yang
dialami anak pada umumnya. Bukankah mereka atau anak-anak kita adalah
tanggungjawab kita sebagaimana yang telah Allah peringatkan dalam al-Qur’an
yang berbunyi:
يا أيهاالذين أمنوا قوا انفسكم وأهليكم نارا.
Artinya:
“Jagalah diri kalian dan keluargakalian dari panasnya api neraka
Muhammad Nur
Hafidz merumuskan empat pola dasar dalam bukunya. Pertama, senantiasa
membacakan kalimat Tauhid pada anaknya. Kedua, menanam-kan kecintaan kepada
Allah dan Rasulnya. Ketiga, mengajarkan al-Qur’an dan keempat menanamkan
nilai-nilai pengorbanan dan perjuangan”.
Selain itu pembinaan akhlak merupakan implementasi dari iman dalamsegala
bentuk perilaku, pendidikan dan pembinaan akhlak anak. Keluarga dilaksanakan
dengan contoh dan teladan dari orang tua. Perilaku sopan santun orang tua dalam
pergaulan dan hubungan antara ibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini Benjamin
Spock menyatakan bahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat
dijadikan teladan atau pun idola bagi mereka.
2.
Pembinaan
Intelektual
Pembinaan intelektual dalam keluarga memegang peranan penting dalam upaya
meningkatkan kualitas manusia, baik intelektual, spiritual maupun sosial.
Karena manusia yang berkualitas akan mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah
sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Mujadalah yang berbunyi:
يرفعالله الذين
آمنوا منكم والذين أوتواالعلمدرجات
Artinya:
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang
berilmu diantara kalian. Nabi Muhammad juga mewajibkan kepada pengikutnya untuk
selalu mencari ilmu sampai kapan pun”.
3.
Pembinaan
Kepribadian dan Sosial
Pembentukan kepribadian terjadi melalui proses yang panjang. Proses
pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebih baik apabila dilakukan mulai
pembentukan produksi serta reproduksi nalar tabiat jiwa dan pengaruh yang
melatarbelakanginya. Mengingat hal ini sangat berkaitan dengan pengetahuan yang
bersifat menjaga emosional diri dan jiwa seseorang. Dalam hal yang baik ini
adanya Kewajiban orang tua untuk menanamkan pentingnya memberi support
kepribadian yang baik bagi anak didik yang relative masih muda dan belum
mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocok dilakukan pada
anak sejak dini agar terbiasa berprilaku sopan santun dalam bersosial dengan
sesamanya. Untuk memulainya, orang tua bisa dengan mengajarkan agar dapat
berbakti kepada orang tua agar kelak sianak dapat menghormati orang yang lebih
tua darinya.
Bangunan rumah tangga bagaikan bagunan missi kenabian. Jika bangunan
runtuh, maka maka runtuhlah missi kemanusiaan. Karena itu Rasulullah Saw
bersabda: “Perbuatan halal yang paling Allah murkai adalah perceraian.”
Sebenarnya disini ada suatu yang sangat rahasia. Tidak ada satu pun perbuatan
halal yang Allah murkai kecuali perceraian. Mengapa ini terjadi dalam
perceraian? Tentu masing-masing kita punya jawaban, paling tidak di dalam hati
dan pikiran.
Keluarga sakinah sebagai idaman setiap manusia tidak mudah diwujudkan
sebagaimana tidak mudahnya mewujudkan missi kenabian oleh setiap manusia. Perlu
persyaratan-persyaratan yang ketat dan berat. Mengapa? Karena dua persoalan ini
bertujuan mewujudkan kesucian. Kesucian berpikir, mengolah hati, bertindak, dan
generasi penerus ummat manusia.
2.6
Kurikulum Pendidikan Pra Nikah
Untuk mencapai
keluarga Sakinah Warahmah Warabbul Ghafur yang mampu menghadapai tatanan sosial
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam membina keluarga terdapat beberapa
pendidikan yang harus dijalankan oleh suami istri sehingga proses transformasi
prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat
akan tercapai sesuai dengan tuntunan syari’at. Maka Islam menawarkan beberapa
macam konsep pembelajaran Pendidikan Pra Nikah bagai calon mempelai, yaitu:
1.
Materi
hubungan Suami Istri dan konsep pembinaan keluarga Sakinah Warahmah Warabbul
Ghafur.
2.
Materi
hak dan tanggung jawab anak.
3.
Materi
hubungan antara suami dengan istri dengan anak dan keluarga.
4.
Materi
hubungan antara suami dengan istri dengan anak dan keluarga dan masyarakat
(Amir Syarifuddin, 1996: 20).[10]
2.7
Metodologi Pendidikan
Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh lembaga maupun
seseorang terhadap seseorang lain agar tercapai perkembangan maksimal yang
positif. Berkaitan dengan pembinaan keluarga yang sakinah harus dimulai dengan
tahapan pembinaan terhadap calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan.
Urgensi Pendidikan pra nikah harus menjadi tanggung jawab bersama, baik itu
Lembaga Pemerintahan yang menangani masalah nikah, pribadi calon mempelai,
keluarga kedua belah pihak, lembaga adat gampong, lembaga-lembaga swadaya
masyarakat dalam meningkatkan Capacity Building dan pihak lain yang peduli
dalam terhadap perkembangan jiwa masyarakat (Dewantoro Sulaiman, 2002: 89).[11]
2.8
Perceraian di Indonesia
Sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya berdasarkan data dari
Badan Urusan Peradilan
Agama Indonesia bahwasannya perceraian di
Indonesia semakin meningkat
setiap tahunnya. Pada 2011,
terjadi sebanyak 74.096 perkara perceraian,
2012 sebanyak 295.863 perceraian, 2013 sebanyak 316.343 perceraian,
2014 sebanyak 343.01 perceraian, dan
pada 2015 terjadi
sebanyak 351.706perceraian.
Bahkan saat ini Indonesia merupakan negara
dengan perceraian tertinggi dibandingkan dengan
negara-negara muslim lainnya.
Beberapa kota dengan jumlah perceraian tertinggi antara lain adalah kota
Surabaya, Semarang dan Bandung. Pada
tahun 2014 Kota Surabaya menempati urutan tertinggi untuk perceraian dengan jumlah 4.937 dan pada 2015
sebanyak 5.036 perceraian. Kota selanjutnya
yang termasuk dalam
urutan perceraian tertinggi di
nusantara yaitu Bandung.
Pada 2014 terjadi
sebanyak 4.022 perceraian dan
pada 2015 terjadi
sebanyak 4.456 perkara perceraian. Peningkatan angka
perceraian juga terjadi
di kota Semarang. Pada
tahun 2014 terjadi
sebanyak 2.761 perceraian
dan pada 2015 terjadi sebanyak 2.797
perceraian.
selain itu peningkatan
perceraian juga terjadi
di beberapa kota lainnya,
seperti kota Padang.
Berdasarkan temuan Rozalinda
dan Nurhasanah jumlah perkara
perceraian di kota
Padang mengalami peningkatan yang
signifikan antara 62
hingga 67 persen.
Perceraian tersebut di dominasi oleh cerai gugat yang diajukan perempuan. Salah satu penyebab
meningkatnya cerai gugat
tersebut adalah bergesernya pemahaman wanita
tentang formulasi perceraian
bukanlah merupakan hal yang
tabu atau memalukan
lagi. Perceraian dilakukan
sebagai solusi dan pilihan
terakhir dalam menyelesaikan
permasalahan yang terjadi dalam
rumahtangganya. Selain itu
para wanita juga beranggapan bahwa
dirinya memiliki hak
untuk mengajukan gugatan perceraian
2.9
Implementasi Pendidikan Pranikah
Dalam kehidupan nyata masih banyak orang orang awam yang belum mengetahui
tetang pendidikan peranikah terutama daerah daerah terpecil, saya pernah
melakukan survey kebeberapa daerah terpencil di banten, saya menanyakan apakah
di daerah ini sudah pernah mendapatkan sosialisasi pendidikan pranikah dan
ternya banyak masyrakat menjawab belum menegetahui tetang pendidikian pranikah
sehingga masih banyak masyarkat yang menerapkan tidak sesuai dengan pendidikan
pranikah dan juga tidak sesuai dengan ajaran islam yang sudah dijelaskan di
dalam al-quran dan hadist dan adapun yang peranah mengikuti/megetahuinya kadang
kadang tidak selalu sesuai dalam penerapannya bahkan kadang-kadang melenceng
dari apa yang sebenarnya padahal pendidikan pranikah sangant penting untuk diterapkan
karena Dari beberapa fungsi tersebut,
fungsi religius dianggap fungsi paling penting karena sangat erat kaitannya
dengan edukatif, sosialisasi dan protektif. Jika fungsi keagamaan dapat
dijalankan, maka keluarga tersebut akan memiliki kedewasaan dengan pengakuan
pada suatu system dan ketentuan norma beragama yang direalisasikan di
lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga terciptalah keluarga yang
sakinah mawadah warohmah
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan
dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau
bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya
dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh
Allh SWT.
Kata-kata Pendidikan memiliki beberapa padanan kata. Padanan kata pendidikan
antara lain tarbiyah. Tarbiyah diartikan pendidikan bukan pengajaran atau
keguruan, karena pengertian pendidikan lebih luas dari pada sekedar mengajar
atau mendidik. Padanan kata kedua untuk pendidikan adalah ta’dib. Istilah
ta’dib berasal dari adaba, yuadabu, tadiban. Adaba artinya membudayakan atau
memperadaban (civilization). Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan
oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang agar tercapai perkembangan
maksimal yang positif (Ahmad Syar’i, 2005: 67). [12]
Sedangkan nikah adalah dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan
bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual (Achmad Kuzari, 1995: 95),[13]
Nikah menurut bahasa : al-jam’u dan ad-dommu yang artinya kumpul.
Melihat pengertian kedua kata diatas, maka yang dimaksud dengan pendidikan
pra nikah adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau
unit social terkecil dalam masyarakat terhadap calon mempelai.
Dari beberapa fungsi tersebut, fungsi religius dianggap fungsi paling
penting karena sangat erat kaitannya dengan edukatif, sosialisasi dan
protektif. Jika fungsi keagamaan dapat dijalankan, maka keluarga tersebut akan
memiliki kedewasaan dengan pengakuan pada suatu system dan ketentuan norma
beragama yang direalisasikan di lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi dalam pengaplikasinya masih
sangat kurang sekali sehigga membuat orang orang tidak mengaplikasikannya
sesuai dengan ajaran islam.
2.1 Saran
Harapan kedeapannya, untuk menjadi
disosilisasikan lebih sering atau lebih luas lagi tidak hanya di daerah
perkotaan saja tetapi ke desa-desa Agar semua masyarakat mengetahui, dan yang
sudah memahami tetang pedidikan pranikah mampu meberikan pemahaman kepada yang
memamng belum memahami agar mampu mengaplikasikannya sesuai dengan ajaran
islam. pendidikan pranikah jangan dijadikan hanya formalitas tetapi mampu
diimplementasikan agar terciptanya keluarga yang sakinah mawadah warohmah
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995
Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana
Media Group, 2003
Abdul Manan,
Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Kencana, 2005
Abdurrahman
al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Asalibiha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’,
Beirut: Dar al-Fikr, 1983
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995
Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz
III, Beirut: Dar Al Fikr, t.t Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana:
Jakarta. 2007
Departemen
Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan
terjemahnya.
Dewantoro Sulaiman, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan:
Solo, 2002 Hibana. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini.
Yogyakarta; PGTWI Press, 20
Drs. H.
Muh. Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap.
(Semarang: PT Karya Toha Putra) Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Departemen Agama Islam)
H.
Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam.
(Bandung: Sinar Baru Algesindo) 381-383
Rasjid,
H. Sulaiman. 2008. Fiqih Islam.
Bandung: Sinar Baru Algesindo
Rifa’I,
H. Moh. Fiqih Islam Lengkap.
Semarang: PT Karya Toha Putra
Toha
Putra Mughniyah,
Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima
Madzhab. Jakarta: Lentera
http://rumahabi.info, http://id.shvoong.com, http://www.eramuslim.com
http://rumahabi.info, http://id.shvoong.com, http://www.eramuslim.com
[9]Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana
Media Group, 2003
Hibana. Konsep Dasar Pendidikan
Anak Usia Dini. Yogyakarta; PGTWI Press,20
[12] Ahmad Syar’i,
2005: 67
[13]Achmad Kuzari,
1995: 95
https://www.blogger.com/bloggernNopiyantii.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar